shangrilabanquet.com – Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) menjelaskan tidak ada istilah “oplosan” dalam dakwaan terkait kasus dugaan korupsi di PT Pertamina (Persero). Pernyataan ini disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, dalam sebuah konferensi pers pada Jumat, 10 Oktober 2025.
Anang menegaskan bahwa istilah yang lebih tepat adalah “blending,” yang merujuk pada proses pencampuran bahan bakar dengan kadar oktan yang berbeda, seperti RON 88 dan RON 92. Proses blending ini, menurutnya, dilakukan untuk menghasilkan bahan bakar yang dijual dengan harga tidak sesuai. Ia menjelaskan bahwa dalam kasus ini, ada keuntungan yang tidak semestinya yang diperoleh pihak-pihak tertentu.
Dalam konteks hukum, mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, didakwa merugikan negara hingga Rp285 triliun. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan bahwa kerugian tersebut berasal dari penyimpangan pengadaan produk impor serta penjualan solar non-subsidi. Dakwaan ini dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, pada 9 Oktober 2025.
Kerugian negara terdiri dari kerugian keuangan sebesar USD2,73 miliar atau Rp45,33 triliun, ditambah Rp25,4 triliun akibat penyimpangan dalam pengadaan. Selain itu, kerugian perekonomian diperkirakan mencapai Rp171,99 triliun dan USD2,61 miliar atau Rp43,3 triliun, yang disebabkan oleh tingginya harga BBM impor dan keuntungan ilegal dari selisih harga.
Dengan demikian, perkembangan ini menyoroti potensi pelanggaran hukum dalam pengelolaan minyak di Indonesia, yang menjadi perhatian publik. Kejagung berjanji akan terus melakukan penyelidikan dan menindaklanjuti dugaan korupsi yang merugikan negara.